Jumat, 17 Juli 2009

Mau Dibawa Kemana Pendidikan Kita Kedepannya ?

*(tulisan terinspirasi setelah melihat fenomena pendidikan yang terjadi)

Semoga hari demi hari kita semakin sadar bahwa masih banyak yang harus kita pikirkan, pahami, dan lakukan, dan semua itu tentunya masih jauh dari yang kita harapkan…

Belakang ini, tentunya kita sering mendengar iklan pendidikan yang sering dikumandangkan di televisi tentang sekolah gratis ada dimana-mana, dimana dengan lantangnya iklan ini mencoba mengajak kepada masyarakat, khususnya masyarakat kalangan menengah kebawah untuk tetap bersekolah. Ya, ini merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah dalam rangka perbaikan di bidang pendidikan, disamping langkah-langkah lain seperti penyediaan operasional pendidikan, buku sekolah elektronik, pengadaan buku murah, program sertifikasi guru, dsb. Tapi yang menjadi pertanyaan sederhananya, apakah langkah-langkah tersebut akan menjawab pendidikan kita yang lebih baik ? Hal inilah yang menuntut kita, khususnya kalangan intelektual untuk coba berpikir lebih jauh lagi karena mohon maaf tanpa mengurangi atas usaha dan upaya yang telah dilakukan pemerintah, saya menilai langkah yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah sebagai bentuk pemanis belaka untuk menutupi bobroknya pendidikan yang terjadi sekarang ini tanpa mau berpusing-pusing untuk mengatasi permasalahan dasar dari pendidikan tersebut. Persoalan yang mendasar yang harus kita pahami bersama bahwa masih jauhnya mutu pendidikan itu sendiri dari keadaan yang diharapkan. Selama bertahun-tahun, kualitas itu tidak beranjak maju, bahkan menurut laporan UNESCO soal pencapaian target Education for All 2015 misalnya, posisi Indonesia berada jauh di bawah Malaysia padahal sebelumnya tepatnya pada tahun 1960-an, Malaysia justru belajar mengelola pendidikan dari bangsa kita. Ya tentunya ini merupakan kepahitan yang sangat mendalam bagi kita bersama bahwa realitasnya kita belum mampu mengelolah pendidikan kita secara baik, bahkan bisa dikatakan memburuk dari tahun ketahun.

Realitas Pendidikan Indonesia

Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dna ketrampilan kesehatan jasmani dan rohani, kpribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaan dan pembangunan nasional dibidang pendidikan merupakan perwujudan salah satu upaya untuk memanjukan kesehjahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadialan sosial. Dengan kata lain dapat disimpulkan secara tegas bahwa pendidikan memang diarahkan pada pengembangan peserta didik yang berakhlak mulia, cakap, kreatif, berilmu, mandiri dan bertanggung jawab. Namun, dalam praktik dilapangan semua itu jauh dari harapan dari cita-cita mulia pendidikan itu sendiri. Peserta didik dihargai berdasarkan pencapaian nilai-nilai yang standarnya telah ditentukan pemerintah. Adapun pembentukan sikap dan karakter anak didik, membangun semangat, serta mengoptimalkan kebudayaan untuk membangun martabat bangsa kurang diperhatikan. Pendidikan budi pekerti diabaikan, persoalan perbedaan kemampuan individu dan kreatifitas juga dipinggirkan sejak pendidikan dasar hingga pendidikan mengenal lanjutan. Hal ini menyebabkan dunia persekolahan kebanyakan saat ini pun tidak lagi mengajarkan anak didik untuk berpikir, untuk eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana dan gaya persekolahan adalah penghafalan tanpa pengertian yang memadai, taat kepada komando, sedangkan bertanya apalagi berpikir kritis praktis adalah tabu. Siswa tidak dididik tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut mohon maaf tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus. Sistem pengajaran ini tentunya bagus untuk kaum militer yang memang kodratnya dipersiapkan demi dunia komando didalam perang, tetapi fatal untuk anak didik yang justru harus bebas untuk bertanya, bahkan berani untuk bertanya karena harus berjiwa eksploratif dalam segala situasi dan kondisi, agar kreatif dan konstruksif nantinya.

Selain itu pendidikan sebenarnya mendapatkan tempat yang terhormat dalam konstitusi yang secara tegas memagari agar 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) digunakan untuk pendidikan. Namun, dalam praktiknya dilapangan banyak kebijakan yang justru controversial dengan amanah konstitusi tersebut. Didalam 20 persen APBN tersebut, atau sekitar 207 trliun untuk APBN 2009, ternyata sudah termasuk gaji guru, bahkan gaji guru mendapatkan porsi terbesar dalam anggaran tersebut. Akibatnya alokasi anggaran untuk meningkatkan mutu dan operasional pendidikan semakin berkurang padahal, permasalahan pendidikan yang harus dibenai begitulah sangat kompleks. Kemudian upaya pemerintah untuk sertifikasi guru dalam rangka peningkatan kualitas guru juga masih mengalami berbagai kendala yang dikarenakan minimnya dana. Disisi lain, masih banyaknya pendidik, khususnya didaerah tertinggal yang sulit meningkatkan kemampuan karena terbatasnya akses informasi dan komunikasi. Untuk sarana dan prasarana pendidikan disejumlah daerah masih terlalu memprihatinkan, mulai dari ruangan yang sudah tidak layak pakai, peralatan yang kurang memadai, mulai dari peralatan laboratorium, komputer, perpustakaan, dsb.

Hal ini kemudian berujung pada fakta bahwa angka putus sekolah untuk berbagai jenjang pendidikan ternyata masih terlalu tinggi di negara ini. Setiap tahun misalnya, 211.643 siswa SMP dan MTs putus sekolah. Selain itu, sekitar 452.000 tamatan SD dan Madrasah tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, dan masih banyak lagi. Nah, adapun factor penyebab tingginya angka putus sekolah, tepatnya di kalangan masyarakat miskin itu sebagian besar disebabkan karena kebanyakan siswa dari kalangan tersebut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga sehingga orientasi dari siswa tersebut tidak lagi terfokus untuk belajar, tetapi beranjak untuk mencari pekerjaan informal, seperti anak-anak jalanan yang tentunya sering kita lihat. Ya, inilah salah satu bentuk konsekonsi logis yang terjadi, boro-boro memikirkan untuk bisa mengecam dunia pendidikan, sementara untuk mengisi perut hari inipun masih belum tau.

Rancangan Pendidikan Indonesia: Kini dan Mendatang

Dari permasalahan dan realita yang diungkapkan diatas, maka saatnyalah kita mencari solusi yang baik, tentunya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dimana solusi yang dihasilkan tidak hanya tertuju pada penyelesaian sekilas/sementara, tanpa berpikir lebih jauh apa yang menjadi akar permasalahan tersebut dan harapannya bahwa pendidikan yang dirancang kedepannya adalah pendidikan yang siap menjawab harapan dan tantangan bangsa kedepannya. Melihat pendidikan saya coba ibaratkan seperti mendirikan rumah, dimana apabila kita menginginkan rumah yang kuat dan kokoh, maka mau tidak mau kita memerlukan pondasi yang haruslah kuat pula. Nah, begitu juga dengan pendidikan, dimana bila pendidikan yang lebih baik maka kita harus membangun pondasi yang baik pula. Pondasi ini adalah segala unsur yang membentuk pendidikan, dimana yang menjadi unsur/pondasi utama adalah pendekatan, sistem, metode. Selain itu ada unsur yang tak kalah penting yaitu pendidik dan peserta didik, tapi saya mengasumsikan unsur ini bisa berjalan dengan baik apabila pondasi/unsur utama tadi telah dibangun dengan baik. Berbicara masalah unsur pendekatan, sistem dan metode pendidikan maka yang kita utamakan adalah kerangka, pranata, dan kurikulum dari pendidikan tersebut. Pendekatan akan erat kaitannya dengan kerangka dengan tetap tidak akan memisahkan pranata dan kurikulum, sistem akan erat kaitannya dengan pranata dengan tetap tidak akan memisahkan kerangka dan kurikulum, dan metode akan erat kaitannya dengan kurikulum dengan tetap tidak akan memisahkan kerangka dan pranata.

Secara sederhana, rancangan pendidikan Indonesia: kini dan mendatang dapat digambarkan sebagai berikut :

Pendidikan


Kurikulum


Kerangka


Kurikulum


Pendidik


Kerangka


Peserta Didik


Pendekatan top-down


Sistem militer, Metode anjing


Pranata


Pendekatan Bottom-up


Sistem petani, Metode ayam


Pranata




Pendidikan


Kurikulum


Kerangka


Kurikulum


Pendidik


Kerangka


Peserta Didik


Pendekatan top-down


Sistem militer, Metode anjing


Pranata


Pendekatan Bottom-up


Sistem petani, Metode ayam


Pranata



Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa unsur pokok pendidikan itu selain pelaku utama yakni pendidik dan peserta didik adalah kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan. Pendidik dapat terdiri dari dosen, guru, pemimpin, orang tua, media massa, orang dewasa, dan masyarakat pada umumnya. Peserta didik dapat mencakup anak-anak, remaja, pemuda/I, rakyat jelata, dan berbagai lapisan serta golongan dalam masyarakat. Kerangka pendidikan adalah visi, missi, filsafat, dan berbagai teori-teori dasar pendidikan serta acuan undang-undang dalam peraturan. Pranata pendidikan adalah sarana-sarana pendidikan, gedung, lapangan, tempat pertemuan, konteks masyarakat, alat-alat peraga, buku-buku, jurnal, berbagai produk media massa, laboratorium, perpustakaan, sampai kepada sumber-sumber budget pendanaannya. Kurikulum pendidikan adalah menyangkut program dan isi serta ilmu pengetahuan yang dikelola dan disampaikan secara sistematik.

Gambar ini mempunyai dua bagian yang dipertemukan oleh satu titik bidang yaitu “peserta didik”. Bagian pertama adalah bagian atas dari diagram, yang melukiskan keadaan pondasi pendidikan kini dan bagian kedua adalah bagian bawah dari diagram, yang menggambarkan keadaan pondasi pendidikan masa mendatang. Secara simbolik pada bagian atas diagram ini melihatkan kepada kita bagaimana peserta didik terinjak paling bawah. Peserta didik hanya dijadikan obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka dan pranata pendidikan, sementara itu pendidik dalam berhubungan dengan peserta didik enggan melakukannya secara langsung tetapi bersembunyi dibalik kurikulum tersebut. Artinya, selama ini situasi dan kondisi , pengalaman dan daya kembang serta daya serap peserta didik sangat sedikit sekali untuk menjadi masukan, apalagi ikut merubah kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan. selain itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan top-down yang identik dengan mendikte, dimana pendidik adalah pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan lebih pandai, sehingga tidak dapat dibantah seperti yang digunakan dalam sistem militer, disiplin seragam, ketat ideology, disiplin perintah tanpa boleh bertanya banyak. Sebagai konsekuensinya, metode pendidikan yang dipakai adalah diibaratkan dengan pendidikan metode anjing, sebagaimana tuan dengan anjingnya, anjing dididik oleh tuannya oleh sistem reward dan punishment agar anjing setia dan tunduk pada tuaanya. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana kualitas yang dihasilkan dari pola dan metode pendidikan tersebut? Tentunya teman-teman bisa menjawab dan sadarlah itu lah yang terjadi pada pendidikan kita sekarang ini, semua dibuat serba kaku tanpa perlu adanya orientasi yang jelas.

Sedangkan gambar yang kedua, kita melihat peserta didik diusung diatas dan menjadi pusat dari kegiatan pendidikan dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bottom-up. Pendekatan ini menempatkan kurikulum tidak langsung mendikte peserta didik, melainkan sampai kepada peserta didik hanya melalui penggarapan dan penjiwaan pendidik. Memang kurikulum dibuat dengan acuan kerangka dan pranata pedidikan seperti pendekatan top-down, namun kurikulum tidak langsung menjadi ujung tombak pendidikan, ujung tombaknya tetaplah peserta didik dalam artian pendidikan yang dibangun pun berdasarkan keadaan dan kebutuhan peserta didik. Dari segi sistemnya, pendidikan ini mempertemukan peserta didik dengan pendidik secara langsung, sementara kurikulum yang dibuat berdasarkan kerangka dan pranata pendidikan yang dibagung sesuai konteks keberadaan peserta didik. Pendidikan seperti itu yang kemudian kita kenal dengan pendidikan bersistem petani. Sebagaimana petani ketika menghadapi dan memperlakukan tanaman, ia tidak pernah menanam tanaman sebagaimana rumusan ilmu tanam-menanam. Agar tanamannya hidup dan berkembang, ia harus memperlakukan tanaman sesuai konteks kehidupannya dialam. Memaksa tanaman dengan rumus ilmu tanam-menanam yang belum tentu cocok dengan konteks alamnya, sama halnya dengan memaksa tanaman tumbuh pada ekosistem yang belum ramah yang mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, kesulitan tumbuhnya atau bahkan mati tanpa buah. Dari segi metode, pendidikan seperti inilah yang kita kenal dengan pendidikan metode ayam, sebagaimana induk ayam memperlakukan anak-anaknya. Induk tidak pernah mendikte anak ayam agar setia, induk selalu ingin mendewasakan dan memandirikan anak-anaknya. Lihat saja bagaimana ia mengajari anak-anaknya mencari makan, mengkais-kais tanah dimana terdapat banyak makanan. Begitu anaknya mendekat, diberi contoh bagaimana menangkap makanan yakni dengan mematuknya, tetapi ketika menghadapi ancaman bahaya, induk ayam itu tidak justru membiarakan sikecil yang masih lemah meyabung hidup sendiri, ia akan galak dan tegar melindungi anak-anaknya. Pendidikan seperti inilah yang tentunya kita harapkan bisa terjadi, pendidikan yang bisa memberdayakan peserta didik tanpa mengurangi sedikitpun kreatifitas anak didik dalam berpikir, bereksploratif dan berkarya.

Pertanyaan pokoknya, Mau dibawa kemana pendidikan kita akan kedepannya ?

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater ……. MERDEKA !!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar