Selasa, 11 Agustus 2009

UU BHP: Nasib Pendidikan Indonesia?

Semenjak ditetapkannya UU BHP banyak muncul kritik yang intinya mengacu pada 3 masalah, pertama masalah ketidak berpihakan UU BHP terhadap siswa dari keluarga tidak mampu, kedua pengurangan tanggung jawab dan komitmen pemerintah terhadap pendidikan dan yang ketiga terjadinya komersialisasi pendidikan. ketiga alasan ini bukanlah tidak beralasan, karena faktanya semenjak dibelakukannya UU BHMN tahun 1999, data menunjukkan biaya di PT yang di BHMN kan naik mendekati 4 kali lipatnya (Welch,2007). Tidak usa kita jauh-jauh, ITB semenjak diberlakukannya sebagai PT BHMN dan sekarang sudah BHP, setidaknya biaya kuliah selalu mengalami kenaikan sekitar 20-30% perangkatannya. Tidak itu saja semenjak pada tahun 2004, subsudi pemerintah untuk ITB hanya menutupi 29 persen biaya operasional yang menyebabkan ITB akhirnya mengambil kebijakan dalam menawarkan jalur khusus bagi 20 % persen mahasiswa baru yang tidak memenuhi standar kemampuan akademis, tetapi mampu membayar lebih mahal yang berakibat secara langsung mengecilkan peluang masyarakat dari golongan menengah kebawah untuk dapat mengeyam pendidikan dikampus ini.

Faktanya bahwa populasi masyarakat Indonesia yang tergolong miskin (berpendapatan dibawah 2 dollar AS per hari) pada tahun 2006 hampir mencapai 42 persen dan hanya 3,3 persen yang berhasil diterima di tingkat pendidikan tinggi dan diperkirakan menurun setiap tahunnya. Hal ini salah satunya disebabkan semakin susahnya masyarakat miskin dalam menjangkau biaya pendidikan yang semakin melambung dari tahun ketahun, baik itu PT negeri maupun PT swasta. Kalau kemudian kita coba tarik kebelakang, tingginya biaya pendidikan ini sangatlah logis, dimana semenjak dipagarinya hanya 1/3 dari biaya pendidikan yang akan ditanggung pemerintah menurut UU BHP, akhirnya memaksa PT mau tidak mau harus mencari dana tambahan untuk bisa menghidupi instutusinya. Hal yang disayangkan kemudian adalah hampir semua PT kemudian langsung membebani kekurangan dana tersebut kemahasiswanya, sehingga mau tidak mau mahasiswa pun harus membayar lebih untuk dapat mendapatkan mengeyam pendidikan yang lebih baik. Terlepas dari penambahan biaya yang dibebankan kemahasiswa, kebanyakan PT juga memilih untuk mengalang dana dari dana dalam bentuk investor. Hal ini kemudian yang memperkuat dugaan bahwa telah terjadinya suatu komersialisasi pendidikan dalam bentuk aset yang menguntungkan bagi koorporasi. Hal ini jelas menjadi masalah karena orientasi pendidikan sendiri bukan lagi diarahkan untuk menciptakan manusia yang handal dan mandiri, tapi sudah berahli hanya sekedar penciptaan tenaga kerja yang murah dan siap dipakai. Hal inilah yang kita lihat, bahwa fenomenanya hampir semua PT kemudian hanya berorientasi pada penciptaan tenaga-tenaga buruh murah yang siap dipakai dan dijual dipasaran. Pengadopsian model seperti ini di PT Indonesia tentunya bukan hal yang baru kita dengar. Hampir semua PT menawarkan pendidikan sebagai produk, mereka berupaya membujuk calon mahasiswa dan menetapkan biaya untuk produk yang ditawarkan. Mengutip pendapat Derek Bok, Presiden Emeritus di universitas Harvard, bahwa kebutuhan finasial dan biaya operasional PT dapat menyebabkan komersialisasi pendidikan, terutama jika nilai dan standar akademis yang memungkinkan institusi pendidikan untuk mencapai tujuan peningkatan tingkat kualitas.

Bagaimanapun kita semua pasti percaya bahwa pendidikan merupakan tonggak awal maju mundurnya kehidupan bangsa. Harus disadari bahwa banyak negara yang kini maju karena mereka sangat peduli pada pendidikan. Sektor pendidikan adalah factor penting untuk menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas, artinya maju mundurnya dunia pendidikan akan menentukan kualiatas SDM kita dan masa depannya bangsa sangat ditentukan oleh maju mundurnya kualitas SDM Indonesia. Meminjam istilah Ben Anderson, Indonesia adalah sebuah proyek peradapan dalam proses menjadi. Sebuah visi pendidikan untuk membanyangkan manusia Indonesia seperti apa yang kita inginkan. Tentu saja yang dimaksud bukan penyerangaman, tetapi kesepakatan terkait alur pemikiran yang memberikan ruang bagi mekarnya kreativiatas dan keberagaman, toleransi, tanggung jawab serta keprihatinan terhadap ketidakadilan. Yang menjadi pertanyaan pokoknya kemudian adalah, apakah UU BHP merupakan solusi yang tepat dalam membangun pendidikan Indonesia yang semakin hari semakin jauh dari realitas dan wajah pendidikan sesungguhnya?

Salam Mahasiswa………………… Merdeka !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar