Sabtu, 08 Agustus 2009

Sekolah Gratis, Benarkah?

Iklan sekolah gratis mengisi ruang publik kita beberapa bulan terakhir ini dengan slogannya “sekolah harus bisa!”. Euforia sekolah gratis terutama mengemuka sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 47/2008 tentang wajib belajar yang menyatakan, pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) dilaksanakan tanpa dipungut biaya. Program sekolah gratis bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat dari golongan menengah kebawah merupakan kabar gembira. Pertanyaan mendasarnya, apakah benar sekolah itu memang benar-benar gratis? Atau iklan ini hanya lebih kearah pencitraan semata diri depdiknas sebagai instusi pemerintah? Sepertinya semua ini perlu dikaji ulang agar masyarakat tidak merasa dibohongi dengan iklan yang terlalu mengawang-awang tidak jelas.
Semenjak terbitnya PP 48/2008 tentang pendanaan pendidikan yang justru mengatakan “sekolah dapat memungut biaya dari orang tua siswa yang membuka celah hukum oleh penyelenggara sekolah yang profit-oriented minded. Hal ini kemudian diperparah dengan minimnya dana bantuan operasional sekolah atau yang sering dikenal dengan BOS, sehingga realiatisnya sekolah tidak gratis, namun sebaliknya justru makin mahal.

Seperti Setengah Hati

Pelaksanaan program sekolah gratis ini seperti setengah hati atau setengah jadi, tapi kami masih berharap semoga konotasi ini hanya berlaku dikamus kami saja. Konsep sekolah gratis itu hanya mengandalkan BOS yang besarnya 30 persen dari total biaya operasional menurut standar pelayanan minimum saja, dana BOS tidak cukup sehingga tidak mungkin dapat menggratiskan murid, kecuali murid SD-SMP di desa di Jawa. Diluar kota dan di luar jawa, BOS tak dapat untuk menggratiskan. Beruntung bila PEMDA punya komitmen terhadap pendidikan sehingga mau memberikan dana pendamping lebih besar. Namun, lagi-lagi mayoritas pemda tidak peduli pendidikan sehingga jangankan memberikan dana tambahan, dana BOS dari pusat setelah sampai disekolah justru dipotong melalui berbagai dalih/iuran yang jelas. Akhirnya yang riil untuk operasional sekolah lebih kecil.
Sesuai dengan buku pedoman Bantuan Operasional sekolah (BOS)2009, dana digunakan untuk biaya penerimaan siswa baru, buku referensi, buku teks pelajaran, pembelajaran (remedial, pengayaan, olahraga, keseniaan), ujian, pembelian bahan-bahan habis pakai, pembiayaan langganan daya listrik,perbaikan sekolah,pembanyaran honorarium, pengembangan profesi guru dan pelatian, biaya transport siswa miskin, pembiayaan pengelolaan bantuan operasional, serta pembelian perangkat computer. Akan tetapi, pada kenyataannya minimnya dana BOS yang mengakibatkan dana tersebut hanya cukup untuk biaya seperti honor guru, pembanyaran listrik dan air, pembeliaan alat-alat tulis, dan biaya operasional lain yang sifatnya rutin sehingga hal ini menimbulkan kekwatiran tersendiri dari sekolah gratis terkait dengan mutu pendidikan yang identik dengan kualitas rendah. Bagaimanapun tentunya kita masih berharap bukan hanya sekedar pendidikan murah dan terjangkau tetapi berkualitas.

Solusi Secepatnya

Tentunya kita semua masih berharapa bahwa program sekolah gratis bukan hanya sekedar jargon belaka. Setidaknya ada beberapa solusi yang mesti dibenahi, meliputi pertama kinerja perlu dibenahi, jangan hanya mengutamakan pencitraan. Penentuan besaran dana BOS perlu dilakukan berdasarkan hasil studi biaya hidup di tiap daerah, bukan hanya sekedar insting, Konsekuensinya, besaran dana BOS di seluruh Indonesia tidak seragam, perlu disesuaikan dengan tingkat kemahalan hidup tiap daerah. Dana BOS di Kalimantan , Sulawesi, Maluku, NTT, dna papua lebih besar daripada dijawa. Atau dana BOS di dibatam bisa lebih tinggi daripada wilayah Sumatera lainnya karena biaya hiduo lebih mahal. Kedua bangun komitmen tentang pembangian peran yang jelas antara pemerintah dan pemda, berapa persen menjadi tanggung jawab pemerintah, berapa persen tanggung jawab pemda? Kejelasan sangat diperlukan dalam menghindari saling lempar tanggung jawab. Ketiga, terakhir tapi bukan akhir dari segalanya, yang paling pokok adalah perhatian terhadap kualiatas pendidikan yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan dengan tetap mengkedepankan pemikiran kreatif guru dan peserta didik, bukan hanya sekedar pemenuhan target kurikulum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar