Minggu, 17 Januari 2010

Saatnya Menghentikan Tradisi Investasi Kolonial





SAATNYA MENGHENTIKAN TRADISI INVESTASI KOLONIAL !!!1


Semut mati digudang gula. Sekiranya pribahasa inilah yang mungkin bisa mewakili keadaan bangsa Indonesia yang menurut sejarah telah merdeka lebih kurang 64 tahun yang lampau. Sunguh sangat ironis dan menyedihkan!


Semua bangsa dibelahan dunia ini tentunya sepakat bahwa bangsa Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alamnya mulai dari hasil tambang dan gas buminya, pertanian, perkebunan, hasil hutan, kelautan berserta fauna dan floranya, dsb dan didukung oleh tingginya sumber daya manusianya. Negeri yang tercatat memiliki sekitar sekurangnya 17.504 pulau besar dan kecil, dengan luas wilayah mencapai 1,904 juta km2, dimana perairannya terbentang sepanjang 81.000 km di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik juga terkenal akan tanahnya yang subur yang membuat bangsa ini menjadi salah satu bangsa penghasil utama komoditas penting di dunia.

Menurut World in Figure, pada tahun 2006 setidaknya bangsa ini tercatat sebagai bangsa penghasil biji-bijian terbesar no 6, penghasil teh terbesar no 6, penghasil kopi no 4, penghasil cokelat no 3, penghasil minyak sawit (CPO) no 2, penghasil lada putih no 1, lada hitam no 2; penghasil puli dari buah pala no 1, penghasil karet alam no 2, penghasil karet sintetik no 4, penghasil kayu lapis no 1, penghasil ikan no 6 di dunia. Selain itu, di sektor migas, Indonesia termasuk dalam jajaran 20 besar negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia. Tahun 2005 Indonesia adalah produsen gas alam terbesar didunia dan termasuk dalam 10 Negara penghasil gas terbesar di dunia dan data lainnya menyebutkan bahwa pada tahun 2008, Indonesia berada pada urutan 7 negara eksporter gas terbesar di dunia yang membuat akhirnya bangsa ini menjadi salah satu kekuatan utama dunia dalam hal penyedian sumber energi. Dan masih banyak lagi hasil-hasil sumber daya alam bangsa ini yang menjadi andalan bagi Negara Indonesia maupun dunia. Namun diatas kekayaan bangsa ini miliki, ada baik kita bertanya pula mengapa bangsa ini tak kunjung juga bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bangsa yang katanya kaya tadi? Mengapa faktanya Angka kemiskinan bangsa ini masih memuncak hingga 15 persen?




Investasi Jalan Menuju Kesengsaraan Rakyat Indonesia !

Praktek ekonomi bangsa Indonesia saat ini, khususnya berkaitan dengan ekspoitasi sumber daya alam tidak ubahnya dengan praktek eksploitasi sumber daya alam di masa kolonial. Dulu kita menjadi Negara pengekspor rempah-rempah, sumber-sumber agraria dibawah eksploitasi perusahan VOC. Saat ini kita mengekspor kekayaan alam kita dibawah oligopoli perusahaan besar asing seperti Newmont, Chevron, Exxon, dsb. Sepanjang sejarah baik dimasa kolonial maupun saat ini ekspor Indonesia selalu lebih besar dibandingkan impor. Akan tetapi semua ekspor itu adalah ekspor bahan mentah yang dilakukan oleh perusahan-perusahan asing yang melakukan investasi di Indonesia. Yang berbeda adalah praktek kolonial di masa kini dijalankan melalui investasi langsung asing yang mengalir dari Negara-negara kaya dan berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam. Kecenderungan pada investasi semacam ini sebagian besar disebabkan oleh permintaan yang tinggi akan barang-barang primer di Negara-negara Industri maju. Permintaan pasar akan barang-barang produksi primer adalah faktor pendorong paling utama dari tingginya minat investasi. Investasi mengalir pada Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam berpendapatan rendah dan terbelakang dalam bentuk investasi langsung untuk tujuan ekspor dan sangat sedikit yang ditanamkan pada industry-industri pembuatan barang untuk pasar dalam negeri.

Investasi pada mulanya adalah kegiatan terkait dengan perdangangan di dalam rezim kolonial. Investasi dari sebuah Negara-negara lainnya pada masa lalu hanya dimungkinkan terjadi dalam ranah kolonialisme. Pada masa pra-kolonial, maka yang terjadi adalah perdangangan barang dari satu Negara kenegara lain. Dengan adanya kolonialisme, maka dimungkinkan bukan hanya tukar-menukar barang, tapi juga penamanan modal produktif. Karenanya sejarah investasi selalu terkait dengan yang disebut sebagai investasi kolonial, yaitu mengenai dua hal:

1. Investaisi lama untuk eksploitasi sumber daya alam dan pertanian

2. Investasi batu untuk mengusahai pasar lokal seta pengusaan bahan baku dan buruh murah agar kompetitif di pasar internasional.

Pada masa kolonialisme, maka kedua hal tersebut terjamin, artinya Negara jajahannya akan selalu menerima berbagai investasi yang sifatnya eksploitatif dan dominatif dari Negara penjajahnya demi keuntungan sebesar-besarnya yang bisa diambil untuk dibawa pulang ke Negara penjajah. Setelah adanya de-kolonialisasi, maka sifat hubungan investasi ini menjadi sedikit berbeda, tetapi tetap dengan pengertian sempit yang sama. Investasi kolonial berubah menjadi investasi neo-kolonial, dimana hubungan antara Negara (antara bekas penjajah dengan bekas terjajah) tetap mengandung relasi eksploitasi dan dominasi dalam kadar yang berbeda . Investasi ini tetap dikaitkan dengan rezim perdangangan.

Investasi seperti yang tercermin dalam uraian diatas sudah berlangsung di Indonesia mulai dari kekuasaan orde baru sampai sekarang. Jenis investasi semacam ini merupakan kelanjutan dari praktek penanaman modal masa kolonial, khususnya masa kolonial liberal (sejak 1870-an). Sepanjang periode tersebut hingga saat ini investasi asing langsung telah berhasil mengembangkan kegiatan mereka dalam kegiatan perkebunan, petambangan mineral dan minyak, perkebunan, dsb, sebagai sumber ekspor bagi Negara-negara maju yang membiayai investasi perusahaan-perusahaan multinasional. Akibatnya sebagian besar sumber-sumber primer dari Indonesia dieksploitasi oleh perusahaan multinasional untuk kepentingan ekspor, sangat sedikit yang diolah di dalam negeri untuk menghasilkan nilai tambah dan menciptakan cabang-cabang produksi baru yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja. Bukan itu saja, perusahaan-perusahaan yang memperoleh izin eksploitasi hanya mengkontribusikan devisa dan pajak yang relatif kecil bagi bangsa ini. Faktanya bisa kita lihat bahwa dimana dilokasi yang melakukan kegiatan eksploitasi SDA secara massif, angka kemiskinan daerah tersebut relatif lebih tinggi. Keadaan ini bisa kita lihat kondisinya seperti di daerah aceh, papua, riau, dan di wilayah-wilayah Indonesia lainnya. Lagi-lagi sungguh ironis dan sangat menyedihkan !!! selain itu pula, Ekspor bahan mentah secara berlebihan telah menyebabkan minimnya sumber primer yang dapat diperoleh dalam negeri. Sebagai contoh misalnya adalah kelangkaan BBM, kelangkaan gas yang dialami oleh industi pupuk, kelangkaan energi batu bara yang dihadapi oleh PLN, dsb yang akhirnya membuat kita selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi, padahal bukankah bangsa ini dikatakan sebagai bangsa yang sangatlah kaya akan semua sumber primer tersebut?

Utang Sebagai Jalan Berkembangnya Investasi Kolonialisme !

Dibawah proyek kapitalisme neoliberal yang semakin intensif, bangsa ini secara terus menerus menjadi sasaran dari eksploitasi modal asing yang berasal dari Negara-negara Industri maju seperti AS, Jepang, Cina, Uni Eropa, dsb yang didukung oleh lembaga keuangan multilateral (IMF/WB/ADB). Utang luar negeri menjadi pembuka jalan bagi investasi modal besar malanjutkan eksploitasi atas perekonomian Indonesia.

Utang luar negeri Indonesia menurut laporan Bank Indonesia tahun 2009 tercatat mencapai Rp 1.640 triliun, yang terdiri dari utang swasta dan utang pemerintah. Ditambah dengan utang dari obligasi Negara (surat utang) yang berasal dari dalam maupun luar negeri mencapi sebesar 973,25 triliun, maka total utang bangsa ini mencapai Rp 2.613 triliun, artinya setiap kepala keluarga di Negara ini harus menanggung utang sedikitnya Rp 44 juta/rumah tangga (asumsi jumlah rumah tangga 59,2 juta dan anggota keluarga rumah tangga 3,89 juta/jiwa).

Padahal utang luar negeri yang semakin besar tersebut tidak digunakan untuk rakyat, tetapi menjadi sumber bagi pembiayaan kepentingan modal besar, sementar Negara dengan menggunakan pajak rakyat harus membanyar bunga dan cicila hutang pokoknya dengan jumlah yang sangat besar yaitu mencapai Rp 495,69 triliun atau setara dengan 58 persen pendapatan Negara atau sekitar 75 persen pendapatan pajak dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) 2009.

Total Utang Luar Negeri Bangsa Indonesia

(Juta USD/Million of USD)

Tahun

Total

Swasta

Pemerintah

2000

29,174

23,861

5,313

2001

22,607

15,559

7,048

2002

20,982

13,608

7,374

2003

18,901

12,45

6,451

2004

22,431

13,399

9,032

2005

24,364

17,13

7,234

2006

38,935

21,878

17,057

2007

36,651

27,463

9,188

2008

45,063

35,708

9,355

Jumlah

259,108

181,056

78,052

Sumber: Bank Indonesia, 2009

Lahirnya seluruh produk hukum, mulai dari UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal , menggantikan UU No 1 tahun 1967, UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, PP No 1 tahun 2004 tentang hutan, dsb dan dibangunnya infrastruktur yang mendukung dan memudahkannya dilakukannya eksploitasi modal atas ekonomi Indonesia, telah meningkatkan dominasi modal besar asing hampir diseluruh sektor. Menurut laporan IGJ pada tahun 2009, setidaknya lebih dari 175 juta lahan telah dikuasai oleh modal swasta atau bila kita bandingkan dengan luas daratan total Indonesia sekitar 91 persen telah dikuasai oleh modal swasta. Sebanyak 90 persen kekayaan migas nasional dikuasai investor asing, kekayaan tambang mineral 89 persen dikuasai modal asing, disektor batu bara 75 persen dikuasai oleh modal asing. Hampir semua output yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan telah digunakan untuk memasok kebutuhan ekspor ke negara-negara industri maju, baik itu komoditas mineral, migas, perkebunan, komoditas perhutanan, dsb dalam bentuk bahan mentah.

Dipersembahkannya sumber daya alam mentah ini untuk dieksploitasi inilah yang menyebabkan hancurnya industri nasional, minimnya kesempatan kerja, rendahnya produktivitas usaha-usaha nasional serta semakin mahal dan langkahnya sumber-sumber di dalam negeri. Dampaknya bukan sampai disitu saja, semakin tingginya eksploitasi yang dilakukan terhadap kekayaan SDA indoenesia, tidak hanya memperparah keadaan ekonomi bangsa ini tetapi juga memperparah secara berkepanjangan kondisi lingkungan. Jutaan hektar hutan mengalami perusakan dan deforestasi, peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi lokasi tambang migas yang mengeluarkan efek negative ekstranilitas lingkungan yang sangat tinggi pula mulai dari limbah, polusi, dsb.

Diatas semua pemaparan fakta dan argumen diatas, maka bisa disimpulkan tidak ada jalan lain bagi bangsa ini selain menghentikan yang namanya tradisi investasi kolonial dalam cara dan bentuk apapun demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia…. (HB)

Sabtu, 16 Januari 2010

Free Trade


PERDAGANGAN BEBAS (Free Trade)

Sebuah CATATAN KECIL !

Harus diakui, dewasa ini segala bentuk perjanjian internasional seakan-akan telah memberikan landasan dan harapan baru bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang diarahkan dalam rangka percepatan pengentasan dan penghapusan kemiskinan, terutama bagi negara berkembang dan miskin, termasuk salah satu adalah bangsa Indonesia. Fenomena ini tentulah sangat menarik untuk kita coba telaah lebih dalam, terutama dengan maraknya perjanjian mengenai perdagangan bebas (free trade) yang telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu bentuk kebijakan yang telah diambil, dimana mungkin penulis mencoba untuk melemparkan suatu pertanyaan sederhana dalam tulisan ini, apakah benar perjanjian-perjanjian yang telah dibuat itu memang diarahkan dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mempercepat pengentasan kemiskinan yang telah lama menyelimuti bangsa ini atau jangan-jangan itu hanyalah sekedar pemanis belaka untuk memperkuat proses neokolonialisme dan imprealisme suatu negara terhadap negara lain?

Kalau dilihat kembali mengenai isi perjanjian perdagangan bebas yang telah dibuat dan disepakati, pada dasarnya juga menegaskan akan pentingnya suatu produktifitas diiringi dengan asas persamaan, keadilan, perlindungan hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup, tetapi lagi-lagi kalau berbica mengenai realita, mungkin ada baiknya meninjau ulang mengenai kebenaran ditetapkannya asas-asas tersebut. James Petras dengan cukup kritis pernah mengatakan bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dicermati ulang secara kritis. Modus Perdagangan bebas ini tidak lebih hanya akan menjadi mekanisme penguasaan negara maju terhadap negara berkembang. Neoliberalisme dan propoganda atas keniscayaan integral pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos dan klaim yang selalu dibangun utnuk kepentingan relasi imperialis

.

Pada prinsipnya perdagangan bebas atau free trade adalah suatu bentuk penjabaran ekonomi suatu negara yang mekanisme kebijakan perekonomiannya diserahkan kepada kebijakan pasar dengan meminimalkan seminim mungkin peran negara bahkan diharapkan sama sekali tidak ada intervensi/campur tangan dari negara. Prinsip ini berpijak pada teori ekonomi Adam Smith, seorang filosof dalam bukunya “ The Wealth of Nations (1776)” yang mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar akan mampu menggenahi dirinya sendiri. Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga (pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan keniscayaan memperoleh keuntungan semaksimal-maksimalnya karena pasar mengatur dirinya sendiri. Adam Smith juga dalam bukunya “The wealth of nations” mengatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah homo economicus yang senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya. Kalau karakter manusia yang egosentris dan individualistik seperti ini dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang efisien dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya inovasi dan kreasi berkembang sepenuhnya. Hal ini bisa dilihat dari kalau seandainya ada barang dan jasa yang harganya tinggi sehingga memberikan laba yang sangat besar (laba super normal) kepada para produsennya maka akan mengundang ketertarikan banyak orang untuk memproduksi barang yang sama. Akibatnya supply meningkat dan ceteris paribus harga turun, dan begitu juga seterusnya. Maka dengan prinsip seperti ini penganut paham inipun menyakini bahwa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat akan datang dengan sendirinya.

Selain itu, perdagangangan bebas juga menyakini akan menciptakan kemakmuran bersama semua bangsa yang disebabkan setidaknya oleh tiga hal yaitu pertama, perdagangan akan menyebabkan Negara-negara melakukan spesialisai dalam produksi setiap item dimana mereka secara relative lebih efesien. Inilah yang oleh David Ricardo (salah satu peletak dasar teori ekonomi klasik) sebagai teori Comparative Advantage. Sebaliknya, pada sisi koin mata uangnyang sama, pembatasan perdagangan atau distorsi cenderung menurunkan allocative efficiency. Yang kedua perdagangan bebas akan menghasilkan efficiency from competition, yang berarti bahwa dengan terlibat dalam aktivitas perdagangan bebas pemerintah harus mendorong perusahaan-perusahaan domestik untk bertarung di pasar global, dan kemudian memaksa mereka agar lebih inovatif. Dengan demikian, pada akhirnya perusahaan-perusahan domestik tersebut akan menjadi lebih efesien. Hasil akhirnya, kompetisis akan melahirkan harga barang yang lebih murah dan pelayanan terhadap konsumen yang lebih baik. Ketiga, perdagangan juga melahirkan apa yang disebut imported efficiency, dalam artian bahwa pemerintah mau tidak mau harus membuka pasarnya terhadap investasi asing atau impor teknologi asing dengan harapan akan membawa metode proses produksi yang lebih efesien.

Kenyakinan diatas pada dasarnya bukanlah tanpa hasil soalnya bila kita lihat laporan yang dilansir oleh UNDP sebuah badan PBB tahun 2003 mengenai Human Development Report, bahwa setidaknya ekspor global telah bertumbuh sebesar empat kali lipat, sama hal ya dengan Indonesia, terutama semenjak ditetapkan kebijakan diadakannya perdagangan bebas sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi, nilai ekspornya melipat hampir mencapai dua sampai tiga kali lipat tiap tahunnya. Keterbukaan pasar diikuti oleh upah buruh murah dan penundukan kesadaran politik rakyat guna melancarkan arus investasi, memang menghasilkan angka pertumbuhan yang tinggi, rata-rata 5-6 persen per tahun, Namun pertanyaan besarnya, ketika angka-angka itu mengalami peningkatan, pada saat itu ada baiknya kita bertanya “siapa sebenarnya yang diuntungkan dari semua penaikan angka-angka tersebut? Karena faktanya, manfaat dari penaikan angka-angka tersebut hanya dinikmati oleh sekitar 200 pembayar pajak terbesar di Bangsa ini, sementara itu, mayoritas rakyat terus berkubang dalam kemiskinan dengan pendapatan antara US$ 1-2 per hari, sedikitnya 45 persen pekerja termasuk kategori miskin atau berpendapatan dibawah Rp 600 ribu perbulan dan lebih dari 62 persen dari 100 juta orang yang bekerja melakukan pekerjaan disektor informal.

Prinsip perdagangan bebas seperti ini jelaslah melupakan amanat yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara kita yaitu UUD 1945, khususnya dalam pembukaan dan pasal 33 serta melanggar konsep peran negara yang telah ditetapkan yakni melindungi kepentingan rakyat keseluruhan, bukan hanya untuk rakyat minoritas yang dalam hal ini pengusaha dan pengusaha apalagi bukan rakyat Indonesia/pihak asing. Upaya penghilangan peran negara dalam perekonomian di Indonesia inipun bisa kita lihat dari berbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan politik yang dikeluarkan dalam rangka menggantikan posisi negara, khususnya di bidang ekonomi dengan perusahaan-perusahaan swasta. Suatu upaya yang secara keseluruhan ditujukan untuk menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar bebas, contohnya saja bisa kita lihat semenjak disepakatinya kesepakatan berbagai perjanjian perdagangan bebas /FTA, mulai dari IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement), C-AFTA(China-Asean FTA), K-AFTA (Korea-Asean FTA), dan J-AFTA (Japan-Asean FTA) yang jelas-jelas tidak memihak pada kesejahteraan masyarakat secara mayoritas.

Selain itu, perdagangan bebas secara tidak langsung juga telah menghilangkan batas-batas territorial suatu bangsa atau dengan prinsip yang dikenal “borderless nation” (bangsa tak berbatas). Ketidakterbatasan teritorial ini sudah saatnya direfleksikan secara mendalam sebab kedaulatan suatu bangsa secara otomatis juga menjadi hilang. Ini belum ditambah dengan konsep kedaulatan yang lebih substansial, bahwa setiap bangsa adalah bebas dan merdeka menentukan nasibnya. Dan yang disebut sebagai bangsa adalah seluruh lapisan masyarakat yang menjadi mayoritas, bukan segelintir penguasa dan sekaligus pengusaha.

Banyaknya para pengamat ekonom yang menyimpulkan bahwa pada dasarnya Free Trade Agreement hanyalah ditujukan dalam rangka memperluas pasar dan agenda-agenda neoliberal semata, dimana dalam rangka mempermudah misinya, semua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebutpun harus secara perlahan-lahan menghapuskan semua bentuk hambatan atas kelancaran perdagangan dengan pemberian insentif dan emudaan bea masuk dengan pajak 0 % serta kemudahan di bidang pertanahan dan keimigrasian yang diberikan dalam rangka menarik investasi dan perdagangan asing untuk masuk ke kawasan tersebut. Selain itu adanya perspektif kritis yang lebih melihat hubungan asimetris pada politik internasional, memandang perdagangan bebas tidak lebih sebagai bentuk baru penjajahan atau imperialisme gaya baru Negara maju kepada Negara berkembang atau miskin, di mana para pemodal dalam skala internasional dengan alih-alih akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara lain justru tengah mempraktekkan upaya penghisapan keringat buruh yang lebih murah di negara lain. Motivasi ini selalu dikemas dengan konsep strategi diplomasi yang seolah-oleh akan menguntungkan semua negara dalam tiap negosiasi padahal justru yang terjadi adalah perpecahan dalam negeri akibat dari ketidakadilan ekonomi dan lingkaran kemiskinan yang semakin meningkat.

Dengan hilangnya prinsip negara yang entitasnya seharusnya melindungi kedaulatan ekonomi nasional dan lemahnya kedaulatan ditandai dengan tidak adanya partisipasi dan kontrol dari masyarakat untuk terlibat dalam menentukan isi dan bentuk negosiasi tentunya akan membuka potensi kerugian besar bagi perekonomian nasional bangsa yang efeknya tentu akan merugikan masyarakat luas. Tentunya pemerintah Indonesia diharapkan seharusnya bertindak "lebih bijaksana dan berhati-hati serta memikir ulang seribu kali" sebelum menandatangani suatu perjanjian perdagangan bebas (FTA). Namun, sekarang perjanjian itu telah disepakati dan telah dijalankan, tentunya bangsa ini masih berharap akan adanya suatu keadaan yang membutuhkan intervensi pemerintah secara kuat, mengendalikan jalannya perekonomian dan membelokkan arah ekonomi kepada ekonomi rakyat yang berkeadilan dan rasional yaitu EKONOMI KONSTITUSI yang berpihak kepada rakyat banyak, bukan pada kepentingan pasar semata…..(HB)