Minggu, 23 Agustus 2009

SELAMAT DATANG REKAN-REKAN MAHASISWA BARU

SELAMAT DATANG REKAN-REKAN MAHASISWA BARU

Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi, Keberanian menjadi cakrawala, dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata…(WS Rendra)


Kegiatan belajar segenap citivitas kampus akhirnya hidup kembali setelah liburan panjang pun berakhir. Sama seperti biasanya, diawal semester baru, kampus selalu diwarnai dengan kedatangan rekan-rekan mahasiswa baru yang telah berhasil berjuang untuk bisa mengambil bagian dalam komunitas kampus yang terkenal dengan intelektualnya ini. Ya, sekali lagi kami sampaikan, “selamat datang rekan-rekan mahasiswa baru”. Kita tentunya patutnya bersyukur bahwa kita diberi kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan tingkat tinggi yang tidak semua orang, khususnya saudara kita dari golongan kelas menengah kebawah bisa mengenyam pendidikan tingkat tinggi ini, jangankan pendidikan tingkat tinggi, pendidikan tingkat rendah saja masih terlalu jauh dari jangkauan mereka.


Tentunya proses belajar di kampus akan sangat berbeda dengan ketika kita berada di sekolah menengah. Di dunia kampus posisi mahasiswa harusnya sejajar dengan dosen. Jadi dalam proses kegiatan belajarnya lebih ditekankan seperti diskusi formal dan bertukar pikiran dengan seluruh yang ada di ruangan. Seorang mahasiswa harus bisa mengkritik dosen atau mahasiswa lain yang menurut mereka salah sehingga terjadi komunikasi yang baik dalam proses belajar. Selain belajar dalam ruangan, seorang mahasiswa juga perlu membuat kajian tentang kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki.


Selain itu pula, kehidupan dan kegiatan sekolah menengah juga akan berbeda dengan kehidupan kampus. Di kampus, kita semua harusnya dituntut untuk lebih peka dengan realita dan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat karena harus kita sadari bersama bahwa faktanya masih terlalu banyak permasalahan sosial yang menyelimuti masyarakat kita, mulai dari kemiskinan, pengangguran, anak jalanan, kebodohan, dsb hingga mengundang tindakan-tindakan kriminalitas, mulai dari maraknya kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dsb yang semua itu mau tidak mau menuntut kita semua untuk bisa mencari solusi atas permasalahan yang terjadi sesuai dengan bidang dan keahlian kita masing-masing. Adalah sesuatu yang sia-sia apabila mahasiswa justru tidak bisa menanggapi panggilannya tersebut karena sibuk dengan urusan pribadinya sendiri dan parahnya lagi apabila kemudian mahasiswa itu mengeksklusifkan dirinya dengan masyarakat karena terlalu bangga dengan status kaum intelektualnya tanpa sadar bahwa dia adalah bagian dari masyarakat tersebut yang mempunyai tugas dalam membawa kemajuan dalam kehidupan masyarakat.


Karena hidup adalah masalah memilih dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya, maka kita pun bebas menentukan pilihan kita masing-masing apakah kita lebih suka disebut sebagai pecundang yang taunya hanya bisa bangga atas status intelektual kita karena telah berhasil mengenyam pendidikan tinggi tanpa mau berbuat sesuatu yang berarti bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat kita atau hari ini juga kita berani memilih untuk menjadi seorang kaum intelektual yang mau berjuang untuk bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negaranya.


Sekali lagi kami sampaikan, selamat datang rekan-rekan mahasisiswa baru. Jadikanlah dirimu memang layak disebut mahasiswa, yaitu Mahasiswa ITB.

Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater…………… MERDEKA !!!

Salam Pembebasan

Selasa, 11 Agustus 2009

UU BHP: Nasib Pendidikan Indonesia?

Semenjak ditetapkannya UU BHP banyak muncul kritik yang intinya mengacu pada 3 masalah, pertama masalah ketidak berpihakan UU BHP terhadap siswa dari keluarga tidak mampu, kedua pengurangan tanggung jawab dan komitmen pemerintah terhadap pendidikan dan yang ketiga terjadinya komersialisasi pendidikan. ketiga alasan ini bukanlah tidak beralasan, karena faktanya semenjak dibelakukannya UU BHMN tahun 1999, data menunjukkan biaya di PT yang di BHMN kan naik mendekati 4 kali lipatnya (Welch,2007). Tidak usa kita jauh-jauh, ITB semenjak diberlakukannya sebagai PT BHMN dan sekarang sudah BHP, setidaknya biaya kuliah selalu mengalami kenaikan sekitar 20-30% perangkatannya. Tidak itu saja semenjak pada tahun 2004, subsudi pemerintah untuk ITB hanya menutupi 29 persen biaya operasional yang menyebabkan ITB akhirnya mengambil kebijakan dalam menawarkan jalur khusus bagi 20 % persen mahasiswa baru yang tidak memenuhi standar kemampuan akademis, tetapi mampu membayar lebih mahal yang berakibat secara langsung mengecilkan peluang masyarakat dari golongan menengah kebawah untuk dapat mengeyam pendidikan dikampus ini.

Faktanya bahwa populasi masyarakat Indonesia yang tergolong miskin (berpendapatan dibawah 2 dollar AS per hari) pada tahun 2006 hampir mencapai 42 persen dan hanya 3,3 persen yang berhasil diterima di tingkat pendidikan tinggi dan diperkirakan menurun setiap tahunnya. Hal ini salah satunya disebabkan semakin susahnya masyarakat miskin dalam menjangkau biaya pendidikan yang semakin melambung dari tahun ketahun, baik itu PT negeri maupun PT swasta. Kalau kemudian kita coba tarik kebelakang, tingginya biaya pendidikan ini sangatlah logis, dimana semenjak dipagarinya hanya 1/3 dari biaya pendidikan yang akan ditanggung pemerintah menurut UU BHP, akhirnya memaksa PT mau tidak mau harus mencari dana tambahan untuk bisa menghidupi instutusinya. Hal yang disayangkan kemudian adalah hampir semua PT kemudian langsung membebani kekurangan dana tersebut kemahasiswanya, sehingga mau tidak mau mahasiswa pun harus membayar lebih untuk dapat mendapatkan mengeyam pendidikan yang lebih baik. Terlepas dari penambahan biaya yang dibebankan kemahasiswa, kebanyakan PT juga memilih untuk mengalang dana dari dana dalam bentuk investor. Hal ini kemudian yang memperkuat dugaan bahwa telah terjadinya suatu komersialisasi pendidikan dalam bentuk aset yang menguntungkan bagi koorporasi. Hal ini jelas menjadi masalah karena orientasi pendidikan sendiri bukan lagi diarahkan untuk menciptakan manusia yang handal dan mandiri, tapi sudah berahli hanya sekedar penciptaan tenaga kerja yang murah dan siap dipakai. Hal inilah yang kita lihat, bahwa fenomenanya hampir semua PT kemudian hanya berorientasi pada penciptaan tenaga-tenaga buruh murah yang siap dipakai dan dijual dipasaran. Pengadopsian model seperti ini di PT Indonesia tentunya bukan hal yang baru kita dengar. Hampir semua PT menawarkan pendidikan sebagai produk, mereka berupaya membujuk calon mahasiswa dan menetapkan biaya untuk produk yang ditawarkan. Mengutip pendapat Derek Bok, Presiden Emeritus di universitas Harvard, bahwa kebutuhan finasial dan biaya operasional PT dapat menyebabkan komersialisasi pendidikan, terutama jika nilai dan standar akademis yang memungkinkan institusi pendidikan untuk mencapai tujuan peningkatan tingkat kualitas.

Bagaimanapun kita semua pasti percaya bahwa pendidikan merupakan tonggak awal maju mundurnya kehidupan bangsa. Harus disadari bahwa banyak negara yang kini maju karena mereka sangat peduli pada pendidikan. Sektor pendidikan adalah factor penting untuk menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas, artinya maju mundurnya dunia pendidikan akan menentukan kualiatas SDM kita dan masa depannya bangsa sangat ditentukan oleh maju mundurnya kualitas SDM Indonesia. Meminjam istilah Ben Anderson, Indonesia adalah sebuah proyek peradapan dalam proses menjadi. Sebuah visi pendidikan untuk membanyangkan manusia Indonesia seperti apa yang kita inginkan. Tentu saja yang dimaksud bukan penyerangaman, tetapi kesepakatan terkait alur pemikiran yang memberikan ruang bagi mekarnya kreativiatas dan keberagaman, toleransi, tanggung jawab serta keprihatinan terhadap ketidakadilan. Yang menjadi pertanyaan pokoknya kemudian adalah, apakah UU BHP merupakan solusi yang tepat dalam membangun pendidikan Indonesia yang semakin hari semakin jauh dari realitas dan wajah pendidikan sesungguhnya?

Salam Mahasiswa………………… Merdeka !!!

Sabtu, 08 Agustus 2009

Sekolah Gratis, Benarkah?

Iklan sekolah gratis mengisi ruang publik kita beberapa bulan terakhir ini dengan slogannya “sekolah harus bisa!”. Euforia sekolah gratis terutama mengemuka sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 47/2008 tentang wajib belajar yang menyatakan, pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) dilaksanakan tanpa dipungut biaya. Program sekolah gratis bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat dari golongan menengah kebawah merupakan kabar gembira. Pertanyaan mendasarnya, apakah benar sekolah itu memang benar-benar gratis? Atau iklan ini hanya lebih kearah pencitraan semata diri depdiknas sebagai instusi pemerintah? Sepertinya semua ini perlu dikaji ulang agar masyarakat tidak merasa dibohongi dengan iklan yang terlalu mengawang-awang tidak jelas.
Semenjak terbitnya PP 48/2008 tentang pendanaan pendidikan yang justru mengatakan “sekolah dapat memungut biaya dari orang tua siswa yang membuka celah hukum oleh penyelenggara sekolah yang profit-oriented minded. Hal ini kemudian diperparah dengan minimnya dana bantuan operasional sekolah atau yang sering dikenal dengan BOS, sehingga realiatisnya sekolah tidak gratis, namun sebaliknya justru makin mahal.

Seperti Setengah Hati

Pelaksanaan program sekolah gratis ini seperti setengah hati atau setengah jadi, tapi kami masih berharap semoga konotasi ini hanya berlaku dikamus kami saja. Konsep sekolah gratis itu hanya mengandalkan BOS yang besarnya 30 persen dari total biaya operasional menurut standar pelayanan minimum saja, dana BOS tidak cukup sehingga tidak mungkin dapat menggratiskan murid, kecuali murid SD-SMP di desa di Jawa. Diluar kota dan di luar jawa, BOS tak dapat untuk menggratiskan. Beruntung bila PEMDA punya komitmen terhadap pendidikan sehingga mau memberikan dana pendamping lebih besar. Namun, lagi-lagi mayoritas pemda tidak peduli pendidikan sehingga jangankan memberikan dana tambahan, dana BOS dari pusat setelah sampai disekolah justru dipotong melalui berbagai dalih/iuran yang jelas. Akhirnya yang riil untuk operasional sekolah lebih kecil.
Sesuai dengan buku pedoman Bantuan Operasional sekolah (BOS)2009, dana digunakan untuk biaya penerimaan siswa baru, buku referensi, buku teks pelajaran, pembelajaran (remedial, pengayaan, olahraga, keseniaan), ujian, pembelian bahan-bahan habis pakai, pembiayaan langganan daya listrik,perbaikan sekolah,pembanyaran honorarium, pengembangan profesi guru dan pelatian, biaya transport siswa miskin, pembiayaan pengelolaan bantuan operasional, serta pembelian perangkat computer. Akan tetapi, pada kenyataannya minimnya dana BOS yang mengakibatkan dana tersebut hanya cukup untuk biaya seperti honor guru, pembanyaran listrik dan air, pembeliaan alat-alat tulis, dan biaya operasional lain yang sifatnya rutin sehingga hal ini menimbulkan kekwatiran tersendiri dari sekolah gratis terkait dengan mutu pendidikan yang identik dengan kualitas rendah. Bagaimanapun tentunya kita masih berharap bukan hanya sekedar pendidikan murah dan terjangkau tetapi berkualitas.

Solusi Secepatnya

Tentunya kita semua masih berharapa bahwa program sekolah gratis bukan hanya sekedar jargon belaka. Setidaknya ada beberapa solusi yang mesti dibenahi, meliputi pertama kinerja perlu dibenahi, jangan hanya mengutamakan pencitraan. Penentuan besaran dana BOS perlu dilakukan berdasarkan hasil studi biaya hidup di tiap daerah, bukan hanya sekedar insting, Konsekuensinya, besaran dana BOS di seluruh Indonesia tidak seragam, perlu disesuaikan dengan tingkat kemahalan hidup tiap daerah. Dana BOS di Kalimantan , Sulawesi, Maluku, NTT, dna papua lebih besar daripada dijawa. Atau dana BOS di dibatam bisa lebih tinggi daripada wilayah Sumatera lainnya karena biaya hiduo lebih mahal. Kedua bangun komitmen tentang pembangian peran yang jelas antara pemerintah dan pemda, berapa persen menjadi tanggung jawab pemerintah, berapa persen tanggung jawab pemda? Kejelasan sangat diperlukan dalam menghindari saling lempar tanggung jawab. Ketiga, terakhir tapi bukan akhir dari segalanya, yang paling pokok adalah perhatian terhadap kualiatas pendidikan yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan dengan tetap mengkedepankan pemikiran kreatif guru dan peserta didik, bukan hanya sekedar pemenuhan target kurikulum.
HAKIKAT PENDIDIKAN

Secara umum, pendidikan dimengerti sebagai proses pengalihan nilai-nilai dan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik. Oleh karenanya, ia lebih luas dari sekedar pengajaran, apalagi pengajaran yang dilakukan melalui sistem kelas. Disatu pihak karena menyangkut proses, maka ia memuat pentahapan atau yang kita kenal dengan tingkatan pendidikan. Dilain pihak karena ada pendidik dan peserta didik, maka iapun mengenal perbedaan status antara yang mendidik dan dididik.

Pemikiran tentang pendidikan pun telah berkembang dari zaman-kezaman, dinasti kedinasti, kerajaan kekerajaan, dsb yang melahirkan banyak filsof dan ahli-ahli pendidikan. Sejak tahun 900-an sebelum masehi, ketika sistem pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri. Pendidikan selalu ditekankan sebagai alat untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat meningkatkan pemekerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, serta alat mengukur status sosial.

Pendapat Freire yang memahami pendidikan sebagai usaha memanusiakan manusia. Pendidikan membuat seorang manusia memiliki kemampuan kritisan dan kemampuan untuk memahami apa yang ada dalam realitas. Ada lagi pendapat dari Dewey yang menganggap bahwa pendidikan ada sebagai proses transformasi sosial ke arah yang lebih baik dimana pendidikan bukanlah tujuan akhir, melainkan suatu perkembangan tanpa akhir ibarat kehidupan itu sendiri. Pendidikan menurutnya tidak berbicara mengenai angka, melainkan nilai. Pendidikan tidak boleh terbatas pada sekedar transfer pengetahuan dan keahlian fungsional semata.

Ya, itu adalah sebagian dari pemikiran dan pandangan dari filsof pendidikan terdahulu yang masih kita adopsi sampai sekarang. Bagaimanapun, kami nyakin sekali teman-teman juga mempunyai pandangan dan pamahaman tersendiri tentang apa itu pendidikan tapi setidaknya pendidikan bisa kita pahami bersama (seperti yang tertuang di Wikipedia) sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat dalam artian bahwa pendidikan seharusnya diarahkan pada pengembangan jati diri, kemampuan mengkritisi, dan menularkan nilai dasar bersama, seperti kejujuran, keadailan, kerja keras, kesederhanaan, disiplin, dan kebersamaan. Perlu ditekankan, prestasi tidak akan dicapai dengan sikap instan atau keinginan serbacepat, seperti cepat pintar. Bila tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia, maka perlu disadari bahwa pribadi yang merdeka adalah yang mampu mempertanggungjawabkan atas kemerdekaannya tersebut.